Senin, 09 Mei 2016

Kasus pelanggaran hak merek

1.      kasus pertama
Kasus Pemalsuan Brand Adidas
Adidas Jakarta - Merek adidas Holder AG menang di Central kasus Pengadilan Negeri Jakarta terkait pelanggaran khasnya 3-STRIP. Kemenangan ini bukan kali pertama bagi adidas di Indonesia dalam kasus serupa. Pada 4 Mei 2012 adidas mendapatkan perlakuan vonis Penghentian paksa dan uang serta biaya pengadilan Zul Achyar BH Bustaman terdakwa dalam pelanggaran merek dagang 3-STRIP di Indonesia. Tidak ada kasus terdaftar. 111/Merek/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst. Adidas partai mengajukan gugatan ini berdasarkan UU merek No. 15/2001, yang didasarkan pada ketentuan Pelanggaran Merek, khususnya atas penggunaan yang tidak sah dari merek dagang yang menyerupai menyebabkan kebingungan. Hal ini disampaikan oleh pengacara adidas Juliane Sari Manurung dari Suryomurcito & Co mengatakan dalam sebuah pernyataan, yang diterima detikFinance, Kamis (2012/06/21) "Dasar dari hal ini adalah garis / strip untuk sepatu yang terlihat sangat mirip dengan 3-STRIP merek dagang Tergugat dimiliki oleh Adidas dan konsumen akan mudah tertipu oleh mereka. Merek Dagang Hukum di Indonesia untuk melindungi hal semacam ini, sejalan dengan internasional peraturan seperti Perjanjian WTO. adidas Kursus akan mengambil tindakan hukum untuk melindungi hak-hak dan Pengadilan Niaga telah membuat keputusan yang tepat, "katanya. Merek adidas 3-STRIP terdaftar tidak hanya di Indonesia tetapi juga telah diakui sebagai merek terkenal dalam kasus lain di Indonesia. Misalnya dalam kasus No. 13/Merek/2010/PN.JKT.PST antara adidas melawan Kim Sung Soo di Pengadilan Niaga Jakarta, keputusan tanggal 14 Juni 2010 serta di banyak negara lain di luar negeri. Sidang pertama Merek Gugatan Pelanggaran yang diselenggarakan pada tanggal 5 Januari 2012 dan keputusan itu dibacakan di Pengadilan Niaga Jakarta pada tanggal 4 Mei 2012. Majelis hakim yang diketuai oleh Dr Sudharmawatiningsih SH, MH Seperti diketahui adidas didirikan pada tahun 1949, merek-3 STRIP telah digunakan sejak tahun 1949. Adidas produk telah diproduksi dan dijual secara luas di seluruh Indonesia. adidas juga telah memenangkan kasus serupa untuk melindungi merek dari 3-STRIPnya di berbagai negara di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, Belgia, Yunani dan Cina.

Analisis :

Menurut saya dalam kasus ini seharusnya pemerintah dan penegak hukum harus lebih tegas kepada oknum oknum yang sengaja memalsukan hak merek suatu hanya untuk keuntungan pribadi. dan para pelaku juga harus mendapatkan hukuman yang pantas agar mereka tidak lagi melakukan hal tersebut. Setiap perusahaan juga harus berhati-hati dan waspada agar merek dari produk yang dihasilkan tidak dapat di gunakan oleh perusahaan lain dan setiap perusahaan juga harus memastikan apakah merek yang di gunakan telah digunakan oleh perusahaan lain atau tidak, agar tidak terjadi konflik antar perusahaan, karena bila nama perushaan telah tercoreng dimata konsumen maka  akan kurangnya rasa percaya dan keiingan dari konsumen untuk tidak menggunakan produk dari perusahaan tersebut.

2.      Kasus kedua
Oskadon vs Oskangin
Oskadon merupakan salah satu obat sakit kepala yang sudah cukup lama beredar di Indonesia. Masyarakat Indonesia pun sudah tidak asing lagi jika mendengar merek obat sakit kepala yang satu ini. Slogan “Oskadon Memang Oye!” ternyata bukan hanya suatu slogan kosong belaka. Hal ini terbukti saat Oskadon mengajukan gugatan ke pengadilan. Merek obat sakit kepala ini ternyata tidak terkalahkan melawan obat sejenis dengan merek Oskangin. Oskadon telah menggugat merek Oskangin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Hasilnya hakim mengabulkan permohonan tersebut serta memerintahkan Oskangin mencabut nama tersebut.
Ketua majelis hakim Marsudin Nainggolan dalam sidang di PN Jakpus mengabulkan permohonan penggugat dan membatalkan merek Oskangin. Menurut majelis hakim, berdasarkan bukti merek Oskadon telah dipromosikan secara besar-besaran sudah sejak lama. Sedangkan Oskangin baru terdaftar sejak 1 Juli 2010. Majelis juga beralasan membatalkan merek Oskangin karena merek tersebut mengandung unsur kata ‘Oska’ yang mendominasi unsur kata Oskadon. Menurut ketua majelis hakim Marsudin Nainggolan, Oskangin telah mendaftarkan merek Oskangin dengan berniat membonceng ketenaran merek Oskadon. Selain itu, kata ‘Oska’ telah digunakan sebagai merek Oskadon terlebih dahulu dibanding Oskangin. Hakim juga melihat secara visual antara kedua merek tersebut memiliki persamaan pada pokoknya. Menurut ketua majelis hakim Marsudin Nainggolan, tergugat terbukti memiliki itikad tidak baik karena mempunyai persamaan pada pokoknya.
Menanggapi putusan ini, kuasa hukum Oskadon Nur Hatimah mengaku senang. Sebab putusan hakim seperti yang diharapkan oleh kliennya. Sementara kuasa hukum Oskangin, Irawan Adnan mengaku kecewa dan akan mengajukan kasasi.

Analisis kasus:
Berdasarkan kasus tersebut, diketahui bahwa jenis produk dari kedua merek yang memiliki sengketa sama-sama merupakan obat sakit kepala. Penggunaan kata “Oska” pada merek obat sakit kepala Oskangin memang sangat mirip dengan merek Oskadon. Kesamaan-kesamaan seperti ini memang mengindikasikan adanya itikad tidak baik dari pihak Oskangin karena cenderung menjiplak atau meniru merek Oskadon yang sudah terlebih dahulu dikenal oleh masyarakat luas.
Pembatalan merek Oskangin oleh majelis hakim memang sudah merupakan keputusan yang tepat. Hal ini dilakukan dengan dasar sebab yang jelas baik dari aspek perizinan dan tampilan visualnya. Merek Oskadon telah terlebih dahulu terdaftar sebagai merek dagang yang sah dan dilindungi Undang-Undang, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Sedangkan Oskangin baru terdaftar pada tahun 2010. Oskangin diduga memiliki maksud tidak baik dengan memakai unsur kata “Oska”, yaitu memanfaatkan popularitas dari merek Oskadon demi memudahkan promosi agar lebih cepat mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Namun, masyarakat yang cerdas tentu dapat menilai originalitas dari kedua merek tersebut. Merek manakah yang meniru (plagiat) dan merek manakah yang ditiru.

3.      Kasus ketiga
Kasus Pelanggaran Merek Dagang Budha Bar
Buddha   Bar   adalah   salah   satu   contoh   Merek   Dagang   yang   bertaraf Internasional yang dilindungi oleh Konvensi Perancis. Buddha Bar merupakan merek dagang dari Perancis yang dimiliki oleh George V Restaurant. Dengan perkembangan zaman  dan  perkembangan  perlindungan  hukum  maka  terdapat  yang  dinamakan dengan  lisensi  yang  digunakan  untuk  memperluas  usahanya,  dan  sekarang  ini perluasaan usaha tidak hanya dilakukan di dalam negeri saja tetapi juga di luar negeri. Indonesia adalah salah satu negara penerima lisensi merek dagang Buddha Bar.
Mengerucut  pada  penggunaan merek  dagang  Buddha  Bar,  berdasarkan. Hukum diatas dan juga para ahli hukum maupun pebisnis di Indonesia berpandangan bahwa penggunaan lisensi merek dagang dari Buddha Bar yang berasal dari Prancis secara yuridis tidak menyalahi hukum perdagangan Internasional. Sebab PT Nireta Vista Creative pengelola dari Buddha Bar di Indonesia telah mendapatkan lisensi dari pemilik merek dagang Buddha Bar itu yaitu George V. Restaurant dari Prancis sebagai pemegang merek dagang Buddha Bar di Indonesia.
Selain itu Buddha Bar juga telah memiliki  legalitas  Hukum  di  Indonesia  karena  telah  mendaftarkan  merek  dagang tersebut ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Dan telah terdaftar sebagai merek dagang di Indonesia pada tanggal 16 Januari 2009. Sertifikat restoran Buddha-Bar terdaftar di Indonesia telah dikeluarkan dengan nomor IDM000189681 di kelas jasa Kelas 43 untuk jenis restoran. Bahkan, sejak pendaftaran merek dagang Buddha Bar diajukan pada tanggal 18 Juli. 2007, penggunaan nama Buddha-Bar tidak mendapat sanggahan dari pihak mana pun.
Buddha Bar ini merupakan usaha dalam bidang jasa Restorant, di dalamnya tidak ada kegiatan untuk suatu pelecehan ataupun penodaan suatu agama tertentu  dalam  hal  ini  adalah  agama  Buddha.  Penggunaan  nama  merek dagang Buddha Bar ini telah bersifat universal tidak mengarah atau memfokuskan pada satu arti pada agama yang ada di Indonesia.
Hal ini juga dapat dilihat dengan banyaknya usaha restaurant yang menggunakan nama, istilah dan simbol-simbol Buddha baik itu usaha dalam   negeri maupun usaha yang ada di Internasional. Sehingga penggunaan Merek Dagang Buddha Bar tidaklah benar jika dikatakan sebagai suatu bentuk penodaaan salah satu agama dan melanggar hukum yang ada di Indonesia.

Penyelesaian Sengketa yang Dilakukan Atas Penarikan Merek Dagang Buddha Bar oleh Ditjen HKI di Indonesia
1. Jalur Non Litigasi
Dalam kasus pemanfaatan merek dagang Buddha Bar ini telah dilakukan mediasi dimana pihaknya yaitu PT. Nireta Vista Creative dan Forum Anti Buddha Bar dimana Dirjen HKI sebagai pihak mediatornya. Dalam pertemuan ini memberikan hasil kepada Direktorat Jenderal HKI untuk menarik sertifikat merek dagang Buddha Bar yang ada di Indonesia. Karena merek dagang Buddha Bar ini memicu keresahan masyarakat yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat banyak dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam hal ini PT. Nireta Vista Creative selaku wakil dari George V Entertainmen pemilik dari merek dagang Buddha Bar ini harus menerima penarikan sertifikat merek dagang Buddha Bar yang ada di Indonesia. Sehingga dengan adanya penarikan merek dagang tersebut fungsi dan manfaat dari merek dagang Buddha Bar ini tidak dapat digunakan secara maksimal. Tetapi PT. Nireta Vista Creative masih tetap dapat menggunakan merek dagang tersebut akan tetapi tidak mempunyai legalitas hukum seperti merek dagang yang didaftarkan pada umunya. Sehingga penggunaan mediasi ini tidak menggunakan penyelesaian win- win solution melainkan salah satu pihak harus menerima kesepakatan yang ada pada pertemuan mediasi ini. Dimana penarikan sertifikat merek dagang Buddha Bar ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal HKI pada tanggal 15 April 2009, melalui suratnya No. HKI 4.HI.06.03-68 oleh Direktorat Merek mencabut sertifikat merek dagang Buddha Bar. sehingga setelah tanggal tersebut PT. Nireta Vista Creative sudah tidak mendapatkan perlindungan hukum.
2. Jalur Litigasi
Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi ini membuka peluang untuk mengajukan sengketa supaya dapat diperiksa secara perdata, pidana maupun administratif. Di samping kedua alternatif tersebut pemilik hak merek dapat mengajukan permohonan penetapan sementara yang diatur di dalam Undang- Undang merek. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual mendapat gugatan dari Pihak Pemilik Merek dagang Buddha Bar dalam hal ini George V. Entertainment dalam Pengadilan TUN mengenai penarikan merek dagang Buddha Bar yang telah terdaftar.
Dengan adanya cara- cara yang dapat ditempuh melalui jalur normatif ini maka merujuk pada kasus Buddha Bar, dengan menggunakan tiga sarana penyelesaian sengketa admintratif, namun dalam pemanfaatan merek dagang Buddha Bar dimaksud, perlu juga memerhatikan kewenangan masing- masing sarana litigatif pemanfaatan merek dagang Buddha bar. Berdasarkan Pasal 29 ayat (2) Undang- Undang Merek, komisi banding hanya diperuntukkan untuk menyelesaikan sengketa adminstratif bidang merek, khususnya yang berkaitan dengan permohonan banding karena adanya penolakan permintaan pendaftaran merek. Dengan menggunakan dasar Pasal 33 Undang- Undang Merek lebih ditegaskan lagi bahwa sengketa dalam hal sengketa administratif merek yang berkaitan dengan penolakan permohonan perndaftaran jenis merek Hak Kekayaan Intelektual yang lain tidak dikenal adanya komisi banding. Padahal pemanfaatan merek Buddha Bar dimaksud sudah terjadi pendaftaran pada Dirjen HKI baru kemudian muncul sengketa. Dengan demikian komisi banding dalam Undang- Undang Merek tidak dapat digunakan untuk solusi ligitatif dalam kasus pemanfaatan merek dagang Buddha Bar.

Analisis Kasus:
Dalam kasus ini, penggunaan lisensi merek dagang dari Buddha Bar yang berasal dari Prancis secara yuridis tidak menyalahi hukum perdagangan Internasional. Sebab PT Nireta Vista Creative pengelola dari Buddha Bar di Indonesia telah mendapatkan lisensi dari pemilik merek dagang Buddha Bar itu yaitu George V. Restaurant dari Prancis sebagai pemegang merek dagang Buddha Bar di Indonesia. Selain itu Buddha Bar juga telah memiliki  legalitas  Hukum  di  Indonesia  karena  telah  mendaftarkan  merek  dagang tersebut ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Sehingga penggunaan Merek Dagang Buddha Bar tidaklah benar jika dikatakan sebagai suatu bentuk penodaaan salah satu agama dan melanggar hukum yang ada di Indonesia.
Dalam kasus pemanfaatan merek dagang Buddha Bar ini telah dilakukan mediasi dimana pihaknya yaitu PT. Nireta Vista Creative dan Forum Anti Buddha Bar dimana Dirjen HKI sebagai pihak mediatornya. Dalam pertemuan ini memberikan hasil kepada Direktorat Jenderal HKI untuk menarik sertifikat merek dagang Buddha Bar yang ada di Indonesia. Karena merek dagang Buddha Bar ini memicu keresahan masyarakat yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat banyak dalam kehidupan bermasyarakat.

Sumber Referensi:
http://marieffauzi.wordpress.com/2013/05/31/analisis-kasus-pembatalan-merek-dagang-buddha-bar-di-indonesia/
http://id.shvoong.com/law-and-politics/international-law/2141036-pengertian-merek-dagang/#ixzz2Vym9K9E        
sumber : www.finance.detik.com Make