1.
kasus
pertama
Kasus Pemalsuan Brand Adidas
Adidas Jakarta -
Merek adidas Holder AG menang di Central kasus Pengadilan Negeri Jakarta
terkait pelanggaran khasnya 3-STRIP. Kemenangan ini bukan kali pertama bagi
adidas di Indonesia dalam kasus serupa. Pada 4 Mei 2012 adidas mendapatkan
perlakuan vonis Penghentian paksa dan uang serta biaya pengadilan Zul Achyar BH
Bustaman terdakwa dalam pelanggaran merek dagang 3-STRIP di Indonesia. Tidak
ada kasus terdaftar. 111/Merek/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst. Adidas partai mengajukan
gugatan ini berdasarkan UU merek No. 15/2001, yang didasarkan pada ketentuan
Pelanggaran Merek, khususnya atas penggunaan yang tidak sah dari merek dagang
yang menyerupai menyebabkan kebingungan. Hal ini disampaikan oleh pengacara
adidas Juliane Sari Manurung dari Suryomurcito & Co mengatakan dalam sebuah
pernyataan, yang diterima detikFinance, Kamis (2012/06/21) "Dasar dari hal
ini adalah garis / strip untuk sepatu yang terlihat sangat mirip dengan 3-STRIP
merek dagang Tergugat dimiliki oleh Adidas dan konsumen akan mudah tertipu oleh
mereka. Merek Dagang Hukum di Indonesia untuk melindungi hal semacam ini,
sejalan dengan internasional peraturan seperti Perjanjian WTO. adidas Kursus
akan mengambil tindakan hukum untuk melindungi hak-hak dan Pengadilan Niaga
telah membuat keputusan yang tepat, "katanya. Merek adidas 3-STRIP
terdaftar tidak hanya di Indonesia tetapi juga telah diakui sebagai merek
terkenal dalam kasus lain di Indonesia. Misalnya dalam kasus No.
13/Merek/2010/PN.JKT.PST antara adidas melawan Kim Sung Soo di Pengadilan Niaga
Jakarta, keputusan tanggal 14 Juni 2010 serta di banyak negara lain di luar
negeri. Sidang pertama Merek Gugatan Pelanggaran yang diselenggarakan pada
tanggal 5 Januari 2012 dan keputusan itu dibacakan di Pengadilan Niaga Jakarta
pada tanggal 4 Mei 2012. Majelis hakim yang diketuai oleh Dr
Sudharmawatiningsih SH, MH Seperti diketahui adidas didirikan pada tahun 1949,
merek-3 STRIP telah digunakan sejak tahun 1949. Adidas produk telah diproduksi
dan dijual secara luas di seluruh Indonesia. adidas juga telah memenangkan
kasus serupa untuk melindungi merek dari 3-STRIPnya di berbagai negara di
seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Italia, Spanyol,
Belgia, Yunani dan Cina.
Analisis :
Menurut saya dalam kasus ini seharusnya pemerintah
dan penegak hukum harus lebih tegas kepada oknum oknum yang sengaja memalsukan
hak merek suatu hanya untuk keuntungan pribadi. dan para pelaku juga harus
mendapatkan hukuman yang pantas agar mereka tidak lagi melakukan hal tersebut.
Setiap perusahaan juga harus berhati-hati dan waspada agar merek dari produk
yang dihasilkan tidak dapat di gunakan oleh perusahaan lain dan setiap
perusahaan juga harus memastikan apakah merek yang di gunakan telah digunakan
oleh perusahaan lain atau tidak, agar tidak terjadi konflik antar perusahaan,
karena bila nama perushaan telah tercoreng dimata konsumen maka akan kurangnya rasa percaya dan keiingan dari
konsumen untuk tidak menggunakan produk dari perusahaan tersebut.
2.
Kasus
kedua
Oskadon vs Oskangin
Oskadon merupakan salah
satu obat sakit kepala yang sudah cukup lama beredar di Indonesia. Masyarakat
Indonesia pun sudah tidak asing lagi jika mendengar merek obat sakit kepala
yang satu ini. Slogan “Oskadon Memang Oye!” ternyata bukan hanya suatu slogan
kosong belaka. Hal ini terbukti saat Oskadon mengajukan gugatan ke pengadilan.
Merek obat sakit kepala ini ternyata tidak terkalahkan melawan obat sejenis
dengan merek Oskangin. Oskadon telah menggugat merek Oskangin di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Hasilnya hakim mengabulkan permohonan
tersebut serta memerintahkan Oskangin mencabut nama tersebut.
Ketua majelis hakim Marsudin Nainggolan
dalam sidang di PN Jakpus mengabulkan permohonan penggugat dan membatalkan
merek Oskangin. Menurut majelis hakim, berdasarkan bukti merek Oskadon telah
dipromosikan secara besar-besaran sudah sejak lama. Sedangkan Oskangin baru
terdaftar sejak 1 Juli 2010. Majelis juga beralasan membatalkan merek Oskangin
karena merek tersebut mengandung unsur kata ‘Oska’ yang mendominasi unsur kata
Oskadon. Menurut ketua majelis hakim Marsudin Nainggolan, Oskangin telah
mendaftarkan merek Oskangin dengan berniat membonceng ketenaran merek Oskadon.
Selain itu, kata ‘Oska’ telah digunakan sebagai merek Oskadon terlebih dahulu
dibanding Oskangin. Hakim juga melihat secara visual antara kedua merek
tersebut memiliki persamaan pada pokoknya. Menurut ketua majelis hakim Marsudin
Nainggolan, tergugat terbukti memiliki itikad tidak baik karena mempunyai
persamaan pada pokoknya.
Menanggapi putusan ini, kuasa hukum
Oskadon Nur Hatimah mengaku senang. Sebab putusan hakim seperti yang diharapkan
oleh kliennya. Sementara kuasa hukum Oskangin, Irawan Adnan mengaku kecewa dan
akan mengajukan kasasi.
Analisis
kasus:
Berdasarkan kasus tersebut, diketahui
bahwa jenis produk dari kedua merek yang memiliki sengketa sama-sama merupakan
obat sakit kepala. Penggunaan kata “Oska” pada merek obat sakit kepala Oskangin
memang sangat mirip dengan merek Oskadon. Kesamaan-kesamaan seperti ini memang
mengindikasikan adanya itikad tidak baik dari pihak Oskangin karena cenderung
menjiplak atau meniru merek Oskadon yang sudah terlebih dahulu dikenal oleh
masyarakat luas.
Pembatalan merek Oskangin oleh majelis
hakim memang sudah merupakan keputusan yang tepat. Hal ini dilakukan dengan
dasar sebab yang jelas baik dari aspek perizinan dan tampilan visualnya. Merek
Oskadon telah terlebih dahulu terdaftar sebagai merek dagang yang sah dan
dilindungi Undang-Undang, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.
Sedangkan Oskangin baru terdaftar pada tahun 2010. Oskangin diduga memiliki
maksud tidak baik dengan memakai unsur kata “Oska”, yaitu memanfaatkan
popularitas dari merek Oskadon demi memudahkan promosi agar lebih cepat
mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Namun, masyarakat yang cerdas
tentu dapat menilai originalitas dari kedua merek tersebut. Merek manakah yang
meniru (plagiat) dan merek manakah yang ditiru.
3.
Kasus
ketiga
Kasus Pelanggaran Merek Dagang Budha Bar
Buddha
Bar adalah salah
satu contoh Merek
Dagang yang bertaraf Internasional yang dilindungi oleh
Konvensi Perancis. Buddha Bar merupakan merek dagang dari Perancis yang
dimiliki oleh George V Restaurant. Dengan perkembangan zaman dan
perkembangan perlindungan hukum
maka terdapat yang
dinamakan dengan lisensi yang
digunakan untuk memperluas
usahanya, dan sekarang
ini perluasaan usaha tidak hanya dilakukan di dalam negeri saja tetapi
juga di luar negeri. Indonesia adalah salah satu negara penerima lisensi merek
dagang Buddha Bar.
Mengerucut pada
penggunaan merek dagang Buddha
Bar, berdasarkan. Hukum diatas
dan juga para ahli hukum maupun pebisnis di Indonesia berpandangan bahwa
penggunaan lisensi merek dagang dari Buddha Bar yang berasal dari Prancis
secara yuridis tidak menyalahi hukum perdagangan Internasional. Sebab PT Nireta
Vista Creative pengelola dari Buddha Bar di Indonesia telah mendapatkan lisensi
dari pemilik merek dagang Buddha Bar itu yaitu George V. Restaurant dari Prancis
sebagai pemegang merek dagang Buddha Bar di Indonesia.
Selain itu Buddha Bar juga telah
memiliki legalitas Hukum
di Indonesia karena
telah mendaftarkan merek
dagang tersebut ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Dan telah terdaftar
sebagai merek dagang di Indonesia pada tanggal 16 Januari 2009. Sertifikat
restoran Buddha-Bar terdaftar di Indonesia telah dikeluarkan dengan nomor
IDM000189681 di kelas jasa Kelas 43 untuk jenis restoran. Bahkan, sejak
pendaftaran merek dagang Buddha Bar diajukan pada tanggal 18 Juli. 2007,
penggunaan nama Buddha-Bar tidak mendapat sanggahan dari pihak mana pun.
Buddha Bar ini merupakan usaha dalam
bidang jasa Restorant, di dalamnya tidak ada kegiatan untuk suatu pelecehan
ataupun penodaan suatu agama tertentu
dalam hal ini
adalah agama Buddha.
Penggunaan nama merek dagang Buddha Bar ini telah bersifat
universal tidak mengarah atau memfokuskan pada satu arti pada agama yang ada di
Indonesia.
Hal ini juga dapat dilihat dengan
banyaknya usaha restaurant yang menggunakan nama, istilah dan simbol-simbol
Buddha baik itu usaha dalam negeri
maupun usaha yang ada di Internasional. Sehingga penggunaan Merek Dagang Buddha
Bar tidaklah benar jika dikatakan sebagai suatu bentuk penodaaan salah satu
agama dan melanggar hukum yang ada di Indonesia.
Penyelesaian Sengketa yang Dilakukan
Atas Penarikan Merek Dagang Buddha Bar oleh Ditjen HKI di Indonesia
1.
Jalur Non Litigasi
Dalam kasus pemanfaatan merek dagang
Buddha Bar ini telah dilakukan mediasi dimana pihaknya yaitu PT. Nireta Vista
Creative dan Forum Anti Buddha Bar dimana Dirjen HKI sebagai pihak mediatornya.
Dalam pertemuan ini memberikan hasil kepada Direktorat Jenderal HKI untuk
menarik sertifikat merek dagang Buddha Bar yang ada di Indonesia. Karena merek
dagang Buddha Bar ini memicu keresahan masyarakat yang dapat mempengaruhi
kehidupan masyarakat banyak dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam hal ini PT. Nireta Vista Creative
selaku wakil dari George V Entertainmen pemilik dari merek dagang Buddha Bar
ini harus menerima penarikan sertifikat merek dagang Buddha Bar yang ada di
Indonesia. Sehingga dengan adanya penarikan merek dagang tersebut fungsi dan
manfaat dari merek dagang Buddha Bar ini tidak dapat digunakan secara maksimal.
Tetapi PT. Nireta Vista Creative masih tetap dapat menggunakan merek dagang
tersebut akan tetapi tidak mempunyai legalitas hukum seperti merek dagang yang
didaftarkan pada umunya. Sehingga penggunaan mediasi ini tidak menggunakan
penyelesaian win- win solution melainkan salah satu pihak harus menerima
kesepakatan yang ada pada pertemuan mediasi ini. Dimana penarikan sertifikat
merek dagang Buddha Bar ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal HKI pada tanggal
15 April 2009, melalui suratnya No. HKI 4.HI.06.03-68 oleh Direktorat Merek
mencabut sertifikat merek dagang Buddha Bar. sehingga setelah tanggal tersebut
PT. Nireta Vista Creative sudah tidak mendapatkan perlindungan hukum.
2.
Jalur Litigasi
Penyelesaian sengketa melalui jalur
litigasi ini membuka peluang untuk mengajukan sengketa supaya dapat diperiksa
secara perdata, pidana maupun administratif. Di samping kedua alternatif
tersebut pemilik hak merek dapat mengajukan permohonan penetapan sementara yang
diatur di dalam Undang- Undang merek. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual mendapat gugatan dari Pihak Pemilik Merek dagang Buddha
Bar dalam hal ini George V. Entertainment dalam Pengadilan TUN mengenai
penarikan merek dagang Buddha Bar yang telah terdaftar.
Dengan adanya cara- cara yang dapat
ditempuh melalui jalur normatif ini maka merujuk pada kasus Buddha Bar, dengan
menggunakan tiga sarana penyelesaian sengketa admintratif, namun dalam
pemanfaatan merek dagang Buddha Bar dimaksud, perlu juga memerhatikan
kewenangan masing- masing sarana litigatif pemanfaatan merek dagang Buddha bar.
Berdasarkan Pasal 29 ayat (2) Undang- Undang Merek, komisi banding hanya
diperuntukkan untuk menyelesaikan sengketa adminstratif bidang merek, khususnya
yang berkaitan dengan permohonan banding karena adanya penolakan permintaan
pendaftaran merek. Dengan menggunakan dasar Pasal 33 Undang- Undang Merek lebih
ditegaskan lagi bahwa sengketa dalam hal sengketa administratif merek yang
berkaitan dengan penolakan permohonan perndaftaran jenis merek Hak Kekayaan
Intelektual yang lain tidak dikenal adanya komisi banding. Padahal pemanfaatan
merek Buddha Bar dimaksud sudah terjadi pendaftaran pada Dirjen HKI baru
kemudian muncul sengketa. Dengan demikian komisi banding dalam Undang- Undang
Merek tidak dapat digunakan untuk solusi ligitatif dalam kasus pemanfaatan
merek dagang Buddha Bar.
Analisis Kasus:
Dalam kasus ini, penggunaan lisensi
merek dagang dari Buddha Bar yang berasal dari Prancis secara yuridis tidak
menyalahi hukum perdagangan Internasional. Sebab PT Nireta Vista Creative
pengelola dari Buddha Bar di Indonesia telah mendapatkan lisensi dari pemilik
merek dagang Buddha Bar itu yaitu George V. Restaurant dari Prancis sebagai
pemegang merek dagang Buddha Bar di Indonesia. Selain itu Buddha Bar juga telah
memiliki legalitas Hukum
di Indonesia karena
telah mendaftarkan merek
dagang tersebut ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Sehingga penggunaan
Merek Dagang Buddha Bar tidaklah benar jika dikatakan sebagai suatu bentuk
penodaaan salah satu agama dan melanggar hukum yang ada di Indonesia.
Dalam kasus pemanfaatan merek dagang
Buddha Bar ini telah dilakukan mediasi dimana pihaknya yaitu PT. Nireta Vista
Creative dan Forum Anti Buddha Bar dimana Dirjen HKI sebagai pihak mediatornya.
Dalam pertemuan ini memberikan hasil kepada Direktorat Jenderal HKI untuk
menarik sertifikat merek dagang Buddha Bar yang ada di Indonesia. Karena merek
dagang Buddha Bar ini memicu keresahan masyarakat yang dapat mempengaruhi
kehidupan masyarakat banyak dalam kehidupan bermasyarakat.
Sumber Referensi:
http://marieffauzi.wordpress.com/2013/05/31/analisis-kasus-pembatalan-merek-dagang-buddha-bar-di-indonesia/
http://id.shvoong.com/law-and-politics/international-law/2141036-pengertian-merek-dagang/#ixzz2Vym9K9E
sumber :
www.finance.detik.com Make