A. Pengertian Wawasan Nusantara
Dalam kehidupan
berbangsan dan bernegara, keanekaragaman (pendapat, kepercayaan, hubungan, dsb)
memerlukan suatu perekat agar bangsa yang bersangkutan dapat bersatu guna
memelihara keutuhan negaranya. Suatu bangsa dalam menyelenggarakan kehidupannya
tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya, yang didasarkan atas hubungan
timbal balik atau kait-mengkait antara filosofi bangsa, idiologi, aspirasi, dan
cita-cita yang dihadapkan pada kondisi sosial masyarakat, budaya dan
tradisi, keadaan alam dan wilayah serta pengalaman sejarah. Wawasan
Nusantara adalah cara pandang dan sikap
bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam
dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan
bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
B. Latar belakang filosofis wawasan nusantara
1. Pemikiran Berdasarkan Falsafah Pancasila
Berdasarkan
falsafah pancasila, manusia Indonesia adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang mempunyai naluri, ahklak,daya pikir, dan sadar
akan keberadaanya yang serba terhubung dengan sesamanya, lingkunganya dan alam
semesta,dan penciptanya. Berdasarkan kesadaran yang di pengaruhi oleh
lingkunganya, manusia Indonesia memiliki inovasi. Nilai – nilai Pancasila juga
tercakup dalam penggalian dan pengembangan wawasan nasional, sebagai berikut
:
1.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
2.
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3.
Sila Persatuan Indonesia
2. Pemikiran berdasarkan aspek kewilayahan
Pengertian geografi adalah wilayah yang tersedia dan terbentuk secara alamiah oleh alam nyata. Kondisi objektif geografis sebagai modal dalam pembentukan suatu Negara merupakan suatu ruang gerak hidup suatu bangsa yang didalamnya terdapat sumber kekayaan alam dan penduduk yang mempengaruhi pengambilan keputusan / kebijakan politik Negara tersebut. Wilayah Indonesia pada saat proklamasi kemerdekaan RI 17 agustus 1945 masih mengikuti territorial Zee En Maritieme Kringe Ordonantie 1939, dimana lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil diukur dari garis air rendah dari masing-masing pantai pulau Indonesia. Penetapan lebar wilayah laut 3 mil tersebut tidak menjamin kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini lebih terasa lagi bila dihadapkan pada pergolakan- pergolakan dalam Negeri pada saat itu.
Deklarasi ini
menyatakan bahwa bentuk geografis Indonesia adalah Negara kepulauan yang terdiri
atas ribuan pulau besar dan kecil dengan sifat dan corak tersendiri.
Untuk mengukuhkan asas Negara kepulauan ini, ditetapkanlahUndang-undang Nomor :
4/Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Maka sejak itu berubalah luas
wilayah dari + 2 juta km2 menjadi + 5 Juta Km2, di mana + 69% wilayahnya
terdiri dari laut/perairan. Karena itu, tidaklah mustahil bila Negara Indonesia
dikenal sebagai Negara kepulauan (Negara maritim). Sedangkan yang 35% lagi
adalah daratan yang terdiri dari 17.508 buah kepulauan yang antara lain berupa
5 (buah) pulau besar, yakni Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi,
dan Irian Jaya (Papua) dan + 11.808 pulau-pulau kecil yang belum
diberi (ada) namanya. Luas daratan dari seluruh pulau-pulau tersebut
adalah + 2.028.087 km2, dengan panjang pantai + 81.000 km.
Indonesia
meratifikasi UNCLOS 1982 tersebut melalui undang-undang nomor 17 tahun 1985 pada
tanggal 31 Desember 1985. Sejak tanggal 16 November 1993
UNCLOS 1982 telah diratifikasi oleh 60 negara dan menjadi hokum positif sejak
16 November 1994.
Kondisi dan
konstelasi geografi Indonesia mengandung beraneka ragam kekayaan alam baik yang
berada di dalam maupun diatas permukaan bumi, potensi di ruang udara dan ruang antariksa,
dan jumlah penduduk yang besar yang terdiri dari berbagai suku yang memiliki budaya,
tradisi, serta pola kehidupan yang beraneka ragam. Dengan kata lain, setiap
perumus kebijaksanaan nasional harus memiliki wawasan kewilayahan atau
ruang hidup bangsa yang diatur oleh politik ketatanegaraan.
3. Pemikiran Berdasarkan Aspek Sosial Budaya
Budaya atau kebudayaan
dalam arti etimologi adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh kekuatan budi
manusia. Karena manusia tidak hanya bekerja dengan kekuatan budinya, melainkan
juga dengan perasaan, imajinasi, dan kehendaknya, menjadi lebih lengkap jika kebudayaannya
diungkap sebagai cita, rasa, dan karsa (budi, perasaan, dan kehendak) Masyarakat
Indonesia sejak awal terbentuk dengan ciri kebudayaan yang sangat beragam yang muncul
karena pengaruh ruang hidup berupa kepulauan di mana ciri alamiah tiap-tiap pulau
berbeda-beda.
C. IMPLEMENTASI WAWASAN
NUSANTARA DALAM KEHIDUPAN
Penerapan
wawasan nusantara harus tercermin pada pola pikir, pola sikap, dan pola tindak
yang senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa (Negara) diatas kepentingan pribadi
dan golongan. Dengan demikian,wawasan nusantara menjadi nilai yang menjiwai
segenap peraturan perundang-undangan yang berlaku pada setiap dan strata di
seluruh wilayah negara,sehingga menggambarkan sikap dan perilaku,paham serta
semangat kebangsaan atau nasionalisme yang tinggi yang merupakan identitas
atau jati diri bangsa Indonesia.
- Implementasi dalam kehidupan politik adalah
menciptakan iklim kehidupan dan perilaku penyelenggara Negara yang sehat,
demokratis , dinamis, dan beretika demi mewujudkan pemerintahan yang
transparan, bersih, aspiratif, dan berwwibawa.
- Implementasi dalam kehidupan ekonomi adalah menciptakan tatanan ekonomi
yang benar-benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahtaraan dan
kemakmuran rakyat secara merata dan adil, adanya tanggung jawab
pengelolaan sumber daya alam antara eksploitasi dan pelestarian yang seimbang.
- Implementasi dalam kehidupan sosial budaya adalah
menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui, menerima dan
menghormati segala bentuk perbedaan sebagai kenyataan yang hidup di
sekitarnya dan merupakan karunia Sang Pencipta, sehingga tercipta kehidupan
yang rukun dan berdampingan dengan damai.
- Implementasi dalam kehidupan pertahanan keamanan adalah menumbuhkan kesadaran cinta tanah air dan membentuk sikap bela Negara pada setiap WNI. Pemahaman wawasan nusantara harus mampu menggerakkan partisipasi rakyat dalam mengatasi berbagai ATHG yang dating dari luar maupun dari dalam Negara.
D. Tantangan Implementasi Wawasan Nusantara.
Dewasa
ini kita menyaksikan bahwa individu dalam bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara sedang mengalami perubahan.Faktor utama yang mendorong
terjadinya proses perubahan tersebut adalah nilai-nilai kehidupan baru
yang dibawa oleh negara maju dengan kekuatan penetrasi globalnya.Tantangan
itu antara lain :
a.
Pemberdayaan rakyat yang optimal.
b. Dunia yang
tanpa batas.
c. Era baru kapitalisme.
d. Kesadaran
warga negara.
E. Contoh kasus nyata tentang wawasan nusantara
a. Krisis Multidimensional Indonesia
Krisis nilai tukar yang dialami oleh bangsa Indonesia pada periode Juni 1998, telah membawa akibat yang sungguh diluar perkiraan siapapun, bahkan tak pula prediksi para ahli. Krisis tersebut, pada kisah lanjutannya berkembang dan meluas mencapai krisis multidimensional; ekonomi, politik, sosial, budaya dan kemudian: identitas bangsa.Kemudian krisis ekonomi yang ditandai kesulitan memperoleh bahan pokok dan kesempatan kerja (sebagai akibat banyaknya perusahaan yang harus gulung tikar dikarenakan krisis hutang akibat depresiasi rupiah yang amat tajam dan mendadak), yang kemudian menjadi pemicu timbulnya gerakan mahasiswa yang muncul bagaikan ribuan semut . Gerakan mahasiswa itu, kemudian mampu untuk menciptakan kesadaran kolektif komponen bangsa yang lain, untuk menyadari bahwa upaya mengatasi krisis ekonomi, haruslah diawali dengan reformasi di dalam bidang politik. Reformasi politik, yang semula diarahkan pada pembersihan pemerintahan dari korupsi, kolusi dan nepotisme yang kemudian diakronimkan menjadi “KKN”, ternyata tidak mendapat sambutan yang positif dari pemerintahan Presiden Soeharto yang ketika itu berkuasa. Akibatnya, kekecewaan timbul sebab ketidak-responsif-an pemerintah, malah membawa tuntutan yang sifatnya lebih mendesak; yakni perlunya pergantian pimpinan pemerintahan dari Presiden Soeharto. Gerakan mahasiswa, yang menggulirkan tuntutan pergantian pimpinan nasional itu, akhirnya mampu untuk memaksa Soeharto untuk mengundurkan diri, pada tanggal 21 Mei 1998. Ketika itu, ratusan ribu mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR untuk menyatakan tuntutannya. Ternyata, pergantian pimpinan nasional tersebut, melahirkan suasana politik yang hiruk pikuk. Tiba-tiba, semua orang ingin bicara dan didengar suaranya. Termasuk dari mereka yang selama ini dikenal sebagai pendukung setia rejim masa lalu. Akibatnya banyak “bunglon politik” yang ikut bermain dalam kancah politik Indonesia. Bermacam isu pula menjadi sasaran untuk dihembuskan pada masyarakat. Diantara sekian banyak isu itu adalah tuntutan desentralisasi kekuasaan dan pembagian keuangan yang lebih adil antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan berbagai cara tuntutan itu dimunculkan. Dalam kasus terakhir di Aceh, bahkan sampai menggelar “SU MPR” (Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum) Aceh, sebagai media pengungkapan tuntutan masyarakat Aceh. Khusus untuk hal itu, beragam ide yang ditawarkan sebagai solusi pun muncul, dari sekadar menuntut pembagian keuangan yang lebih adil, tuntutan otonomi yang lebih luas, tuntutan federalisasi, sampai ke tuntutan kemerdekaan.
Krisis nilai tukar yang dialami oleh bangsa Indonesia pada periode Juni 1998, telah membawa akibat yang sungguh diluar perkiraan siapapun, bahkan tak pula prediksi para ahli. Krisis tersebut, pada kisah lanjutannya berkembang dan meluas mencapai krisis multidimensional; ekonomi, politik, sosial, budaya dan kemudian: identitas bangsa.Kemudian krisis ekonomi yang ditandai kesulitan memperoleh bahan pokok dan kesempatan kerja (sebagai akibat banyaknya perusahaan yang harus gulung tikar dikarenakan krisis hutang akibat depresiasi rupiah yang amat tajam dan mendadak), yang kemudian menjadi pemicu timbulnya gerakan mahasiswa yang muncul bagaikan ribuan semut . Gerakan mahasiswa itu, kemudian mampu untuk menciptakan kesadaran kolektif komponen bangsa yang lain, untuk menyadari bahwa upaya mengatasi krisis ekonomi, haruslah diawali dengan reformasi di dalam bidang politik. Reformasi politik, yang semula diarahkan pada pembersihan pemerintahan dari korupsi, kolusi dan nepotisme yang kemudian diakronimkan menjadi “KKN”, ternyata tidak mendapat sambutan yang positif dari pemerintahan Presiden Soeharto yang ketika itu berkuasa. Akibatnya, kekecewaan timbul sebab ketidak-responsif-an pemerintah, malah membawa tuntutan yang sifatnya lebih mendesak; yakni perlunya pergantian pimpinan pemerintahan dari Presiden Soeharto. Gerakan mahasiswa, yang menggulirkan tuntutan pergantian pimpinan nasional itu, akhirnya mampu untuk memaksa Soeharto untuk mengundurkan diri, pada tanggal 21 Mei 1998. Ketika itu, ratusan ribu mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR untuk menyatakan tuntutannya. Ternyata, pergantian pimpinan nasional tersebut, melahirkan suasana politik yang hiruk pikuk. Tiba-tiba, semua orang ingin bicara dan didengar suaranya. Termasuk dari mereka yang selama ini dikenal sebagai pendukung setia rejim masa lalu. Akibatnya banyak “bunglon politik” yang ikut bermain dalam kancah politik Indonesia. Bermacam isu pula menjadi sasaran untuk dihembuskan pada masyarakat. Diantara sekian banyak isu itu adalah tuntutan desentralisasi kekuasaan dan pembagian keuangan yang lebih adil antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan berbagai cara tuntutan itu dimunculkan. Dalam kasus terakhir di Aceh, bahkan sampai menggelar “SU MPR” (Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum) Aceh, sebagai media pengungkapan tuntutan masyarakat Aceh. Khusus untuk hal itu, beragam ide yang ditawarkan sebagai solusi pun muncul, dari sekadar menuntut pembagian keuangan yang lebih adil, tuntutan otonomi yang lebih luas, tuntutan federalisasi, sampai ke tuntutan kemerdekaan.